Membahas mengenai
ketahanan pangan harus diikuti dengan mengkaji berbagai aspek yang saling
terikat antara satu dengan yang lainnya, yaitu aspek sosial, agama, lingkungan,
politik, dan ekonomi. Ketahanan pangan itu sendiri jika merujuk pada UU No 12
Tahun 2012 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Jika diperhatikan dengan
saksama, tertulis jelas bahwa keterjangkauan pangan harus dapat dinikmati oleh setiap
individu dalam berbagai lapisan masyarakat.
Akan tetapi, dalam
laporan Global Hunger Index 2018
menyebutkan bahwa masalah kelaparan di Indonesia menempati peringkat 73 di
dunia dengan skor 21.9 yang berada pada level serius. Di Asia Tenggara sendiri,
Indonesia menduduki posisi keenam. Posisi Indonesia berbeda jauh dari negeri
tetangga kita, yaitu Malaysia yang menduduki peringkat kedua dengan skor 13.3
dan hanya lebih baik dibandingan dengan Kamboja yang menduduki peringkat
ketujuh dan Laos yang berada pada posisi terbawah. Dari sumber berbeda yang
berasal dari laporan ADB (Asian
Development Bank) dan IFPRI (International
Food Policy Research Institute) pada tahun 2016 sampai 2018 penduduk
Indonesia yang menderita kelaparan menyentuh angka 22 juta dan sebagian dari
penderita tersebut juga menderita penyakit kurang gizi atau biasa disebut
malnutrion.
Hal ini berimbas pada
persentase penderita stunting di Indonesia yang masih cukup tinggi. Walaupun
mengalami penurunan dari 30.8 persen pada tahun 2018 menjadi 27.67 persen pada
tahun 2019, tetapi angka tersebut masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan
oleh WHO (World Health Organization),
yaitu di bawah 20 persen. Masalah stunting adalah masalah serius karena
stunting adalah indikator kesejahteraan anak - anak pada suatu negara. Sebuah
negara yang berada pada tingkat stunting yang tinggi mencerminkan adanya
kesenjangan sosial yang berada di lingkup negara tersebut dan juga
terjangkaunya akses akan pangan yang bernilai gizi secara tidak merata.
Di satu sisi, kita
dihadapkan oleh permasalahan kelaparan di tanah air, tetapi terdapat sisi lain
yang tidak kalah mengejutkan. Di mana Indonesia di daulat menjadi negara kedua
yang menyumbangkan 300 kilogram makanan per tahun atau setara dengan 13 juta
ton makanan terbuang setiap tahunnya. Angka tersebut diyakini dapat memberi
makan 22 juta jiwa manusia yang menderita kelaparan. Indonesia hanya kalah
dengan negara Arab Saudi yang berada
pada tingkat teratas yang setidaknya menyumbangkan 427 kilogram makanan per
tahun, tetapi angka tersebut lebih buruk daripada Amerika Serikat yang berada
di posisi ketiga dengan makanan terbuang per tahunnya mencapai 277 kilogram
makanan per orang.
Mengacu pada Food and Agriculture Organization of the
United Nation, 2013, food waste mengacu
pada makanan apapun yang dibuang meskipun masih sesuai untuk konsumsi manusia
apakah itu disimpan di luar tanggal kedaluwarsa atau dibiarkan rusak. Food Waste adalah masalah serius bagi
lingkungan karena memperburuk konsumsi energi, sumber daya, meningkatnya limbah
yang dihasilkan, dan juga dapat memengaruhi perubahan iklim. Permasalahan food waste di Indonesia disebabkan oleh
berbagai hal, diantaranya makanan sisa setelah mengadakan hajatan pernikahan
dan sebagainya atau saat acara rapat di berbagai pertemuan, makanan yang sudah
dimasak, tetapi tidak sempat dimakan, perilaku konsumen yang mengisakan makanan
di restoran/rumah makan, perilaku masyarakat, bahan pangan yang belum sempat
diolah karena sudah membusuk, hingga proses distribusi bahan pangan sampai ke
tangan konsumen.
Selain food waste, istilah food looses juga terdengar tidak asing. Food losses (kehilangan pangan) adalah kondisi di mana kehilangan
kuantitas dan kualitas dari makanan akibat dari ketidaktepatan dalam
pengelolaan pangan dimulai dari saat panen, alur distribusi, hingga berada di
tangan konsumen. Diperkiran 10 sampai 20 persen terjadi kehilangan pangan, hal
itu tergantung dari komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan.
Hingga saat ini, telah banyak berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta dalam menangani berbagai permasalahan di atas. Akan tetapi, berbagai solusi tersebut tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada sinergi diantara pemangku kepentingan dengan masyarakat. Untuk mewujudkan ketahanan pangan setidaknya peningkatan R&D dalam bidang pertanian mengenai bibit unggul yang tahan terhadap hama, memiliki umur panen yang singkat, dan hasil panen yang memuaskan perlu terus dilakukan, sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat mengenai bagaimana mengelola dan menyimpan bahan pangan yang baik sehingga dapat mengurangi risiko food waste dan food looses, mempersingkat jalur distribusi bahan pangan dari produsen ke konsumen, melakukan inovasi dalam pengolahan bahan pangan menggunakan teknologi untuk membantu memperpanjang masa simpan bahan pangan yang relatif singkat, serta hal yang diperlukan adalah pelaksanaan program diversifikasi pangan yang harus terus digiatkan. Hal ini bukan tanpa alasan, Indonesia memiliki berbagai jenis komoditas pangan yang dapat dijadikan makanan pokok selain nasi. Ini harus dimanfaatkan dengan sebaik – baiknya karena jika bergantung kepada nasi yang notabene berasal dari tanaman padi akan sangat sulit untuk menanggulangi permasalahn ini. Tanaman padi adalah tanaman C3 yang tidak terlalu cocok untuk ditanam di Indonesia. Terlebih lagi, pemasok utama padi di Indonesia berasal dari Pulau Jawa yang jika ingin diedarkan ke seluruh pelosok tanah air maka memerlukan proses distribusi yang memakan waktu. Oleh karena itu, untuk daerah yang tidak terlalu bagus ditanami tanaman padi sebaiknya dilakukan peninjaun kembali agar dapat ditanami tanaman lain yang prospeknya lebih baik.
#ketahananpangan #pangan #indonesia #foodlooses #kelaparan #food waste #padi #beras
0 Komentar