Bagi masyarakat Indonesia, mengonsumsi produk olahan kedelai, seperti tahu, tempe, susu kedelai, dan sebagainya telah menjadi primadona tersendiri. Kedelai memiliki kandungan nilai gizi yang cukup tinggi dan beragam. Kedelai memiliki asam alfa-linoleat, asam lemak omega-6, isoflavon, daidzein, dan genistein. Protein dalam kedelai berada dikisaran 34% bahkan pada varietas unggul mampu mencapai 40-43%. Selain itu, kedelai juga mengandung 19% minyak, 34% karbohidrat, 17% serat makanan, 5% mineral, dan beberapa komponen lain, seperti vitamin. Kedelai juga mengandung berbagai asam amino esensial bagi manusia. Jika seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sebesar 55 gram perhari maka mengonsumsi kedelai sebanyak 157,14 gram dapat menggantikan kebutuhan tersebut.

Dilansir dari BPS, pada tahun 2019, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2.67 juta ton di mana sebanyak 2.51 juta ton kedelai berasal dari Amerika Serikat. Dari sumber yang sama, pada kuartal semester-I 2020, Indonesia telah mengimpor kedelai sebanyak 1.27 juta ton di mana sebanyak 1.14 juta ton berasal dari Amerika Serikat. Sementara itu, produksi kedelai nasional kita hanya berkisar diantara 800-900 ribu ton saja per tahun. Padahal kebutuhan nasional akan kedelai mencapai 2.5 juta ton dan kebanyakan diserap dalam produksi tahu dan tempe.

Rendahnya produksi kedelai di Indonesia setidaknya disebabkan oleh saluran pemasaran kedelai yang terlalu panjang, kebijakan harga jual kedelai bagi para petani yang rendah sehingga banyak lahan yang sebelumnya ditanami kedelai dialihkan fungsikan untuk menanam komoditas lainnya, seperti padi dan jagung, lemahnya nilai tawar petani, sistem informasi, serta kelembagaan di kalangan petani sehingga petani tidak memiliki daya saing, dan produksi yang tidak menggunakan bibit unggul sehingga produktivitas yang dihasilkan rendah. Hal ini dapat ditinjau dari produktivitas lahan yang ditanami kedelai. Varietas kedelai lokal secara umum hanya mampu menghasilkan sekitar 2 ton per hektarnya, sementara kedelai impor dapat menghasilkan 3 ton kedelai perhektarnya.

Hal ini tentunya menjadi perhatian bersama karena hasil penelitian menunjukkan hasil penggunaan varietas kedelai lokal dengan kedelai impor nontransgenik dan transgenic sebagai bahan baku dalam pembuatan tempe secara garis besar tidak memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Rendemen, karakteristik sensori tempe, dan sifat fisiko-kimia yang diperoleh tidak berbeda, kecuali dalam kadar air masih terdapat perbedaan dalam kesimpulan. Varietas kedelai lokal yang baik dalam pembuatan tempe adalah Argomulyo, Anjasmoro, Dena 1, Burangrang, Gumitir, Argopuro, Gema, dan Devon. Varietas tersebut mampu membuat kualitas tempe yang dihasilkan menjadi baik karena memiliki kadar protein 28.1-42%, berat biji 11.9g/100 biji-16g/100 biji, warna kuning, dan berbentuk bulat atau bulat lonjong.  

Sementara itu, dalam produksi tahu sebenarnya ketika menggunakan kedelai lokal menghasilkan produk yang lebih baik. Kedelai lokal memiliki kandungan kadar susu kedelai yang lebih bagus. Akan tetapi, ketersedian di pasar yang tidak dapat memenuhi permintaan sehingga membuat para produsen tahu beralih menggunakan kedelai impor yang dapat dengan mudah ditemukan di pasaran. Selain itu, harga kedelai impor yang berada di pasaran lebih murah dibandingkan dengan kedelai lokal dan kulit kedelai impor juga memiliki karakteristik yang lebih tipis membuat proses produksi tahu lebih cepat sehingga mampu menurunkan ongkos produksi. Seyogyanya dalam produksi tahu lebih baik menggunakan kedelai yang masih baru dan segar. Kedelai yang telah lama disimpan dalam dapat menurunkan kandungan pati yang terdapat pada kedelai sehingga kualitas tahu yang diperoleh kurang baik.

Katheoin menyadari dalam penulisan ini masih memiliki kekurangan sehingga saran, masukkan, kritik, komentar dari pembaca sangat diharapkan demi perbaikan penulisan artikel ke depannya. Makasih semuanya. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.